Pengikut

Minggu, 28 November 2010

Peningkatan Literasi Sains dan Teknologi dalam Pendidikan dan Implementasinya dalam KTSP

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Secara khusus, memasuki abad ke-21 dunia pendidikan Indonesia masih mengalami masalah yaitu masih rendahnya mutu pendidikan (Muhaimin, 2001). Hal ini disebabkan oleh belum meratanya pembangunan di Indonesia dalam berbagai aspek dan keadaan geografis Indonesia yang masih sulit dijangkau sehingga pembangunan dunia pendidikan masih tertinggal dan terjadi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Dengan kenyataan tersebut dikhawatirkan Indonesia akan gagal memasuki pasar bebas pada tahun 2020. Indikasi ke arah tersebut telah nampak pada beberapa kompetisi akademik dan kenyataan di masyarakat. Pada tahun 2003, studi PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa Indonesia di peringkat ke-38 dari 41 negara peserta pada bidang literasi sains. Sedangkan pada TIMSS (Trends Internasional in Mathematics and Science Study), Indonesia menduduki urutan ke-34 dari 45 negara peserta. (Ali, 2006). Mutu pendidikan Indonesia yang tercermin dalam kedua studi internasional tersebut masih belum memuaskan.
Sebagai insan intelektual bangsa maka sudah sepatutnya kita ikut peduli terhadap permasalahan ini. Pendidikan IPA atau pendidikan sains pada hakekatnya merupakan upaya pemahaman, penyadaran, dan pengembangan nilai positif tentang hakekat sains melalui pembelajaran. Sains pada hakekatnya merupakan ilmu dan pengetahuan tentang fenomena alam yang meliputi produk dan proses. Pendidikan sains merupakan salah satu aspek pendidikan yang menggunakan sains sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan umumnya yakni tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan sains khususnya, yaitu untuk meningkatkan pengertian terhadap dunia alamiah (Amien, 1992: 19-20).
Untuk membangun pendidikan masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan dan pembaharuan yang terjadi. Salah satu dimensi yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan dunia pendidikan nasional masa depan adalah kebijakan mengenai kurikulum.
Kurikulum di masa depan perlu dirancang sedini mungkin agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan yang kompetitif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap kepentingan peserta didik.
Pengembangan keseluruhan kurikulum harus memperhatikan bahwa terjadinya belajar pada siswa merupakan faktor utama yang paling penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran. Agar hal ini dapat tercapai, perlu diperhatikan kesesuaian dengan teknologi yang ada, karena di sekitar kita penuh dengan hasil teknologi; dan memperhatikan tingkat perkembangan kemampuan siswa itu sendiri (PPPGIPA, 2000).

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana meningkatkan literasi sains dan teknologi di masyarakat terpencil?
2.      Bagaimana implementasi KTSP dalam pembelajaran sains agar mampu meningkatkan literasi sains dan teknologi?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Literasi Sains dan Teknologi
Literasi sains terbentuk dari 2 kata, yaitu literasi dan sains. Secara harfiah literasi berasal dari kata Literacy yang berarti melek huruf/gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1990). Sedangkan istilah sains berasal dari bahasa inggris Science yang berarti ilmu pengetahuan. Pudjiadi (1987) mengatakan bahwa: “sains merupakan sekelompok pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang diperoleh dari pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah”.
Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2000). Literasi sains menurut National Science Education Standards (1995) adalah:
Scientific literacy is knowledge and understanding of scientific concepts and processes required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs, and economic productivity. It also includes specific types of abilities.
Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik yang dimilikinya. Literasi sains dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Widyatiningtyas, 2008).
Antara sains dan teknologi saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Penemuan dalam sains memungkinkan pengembangan teknologi, dan teknologi menyediakan instrument yang baru lagi yang memungkinkan mengadakan observasi dan eksperimentasi dalam sains. Hurd dalam tulisannya yang berjudul “A Rationale for Science, Technology, and Society Theme in Science Education”, mengutip pendapat Price yang menyatakan teknologi yang tinggi berdasarkan sains, sains modern ditunjang oleh penemuan teknologi (Hurd, 1985 : 98, dalam buku Hakekat pendekatan science and society dalam pembelajaran sains). Pada abad ke-20 ini, pengembangan sains sangat ditunjang oleh penemuan teknologi (Fischer, 1975 : 77). Pengembangan atau inovasi teknologi diarahkan untuk kesejahteraan manusia. Masalah yang dihadapi masyarakat akan lebih mudah ditanggulangi dengan menggunakan hasil teknologi. Walaupun demikian, teknologi mempunyai keterbatasan. Artinya, penerapan suatu teknologi di lingkungan kita akan menimbulkan dampak negatif selain dampak positif. Dengan demikian hendaknya perubahan pendidikan sains harus merefleksikan atau mengarahkan kepada hubungan antara sains dan teknologi dengan masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Widyawatiningtyas (http://educare.e-fkipunla.net), Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis, atau kemampuan berkomunikasi melalui tulisan dan kata-kata. Literasi sains (scientific literasi), dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi teknologi, dapat diartikan sebagai kemampuan melaksanakan teknologi yang didasari kemampuan identifikasi, sadar akan efek hasil teknologi, dan mampu bersikap serta mampu menggunakan alat secara aman, tepat, efesien dan efektif. Adapun literasi sains dan teknologi (literasi sains dan teknologi untuk semua orang yang diusulkan untuk pendidikan dasar di Indonesia), dapat diartikan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains, mengenal teknologi yang ada beserta dampaknya di sekitar, mampu menggunakan produk teknologi dan memeliharanya, kreatif membuat produk teknologi sederhana, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai.

B.     Perkembangan Literasi Sains dan Teknologi dalam Pendidikan
Kesepakatan literasi sains dan teknologi dalam pendidikan dicetuskan dalam International Forum on Scientific and Technological Literacy for All di Paris tanggal 5 – 10 Juli 1993 yang dihadiri oleh utusan dari 93 negara termasuk Indonesia, disepakati antara lain:
1.      Di masing-masing negara hendaknya dibentuk Satuan Tugas Pengembangan Literasi Sains dan Teknologi. Pada akhir tahun 1994 dibentuk satgas tersebut di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 
2.      Pengembangan literasi sains dan teknologi hendaknya dilaksanakan melalui pendidikan baik formal maupun nonformal melalui pendidikan STM (Sains Teknologi Masyarakat).
Dalam hubungan dengan kebutuhan untuk bukti-bukti yang dapat dibandingkan secara lintas negara terhadap kinerja siswa, the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) meluncurkan suatu program yang dikenal dengan nama PISA singkatan dari the Programme for International Student Assessment pada tahu 1997. Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan mempelajari sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang digunakan dalam PISA tidak termasuk bahwa orang-orang dewasa masa yang akan datang akan memerlukan cadangan pengetahuan ilmiah yang banyak. Yang penting adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah tentang bukti yang akan mereka hadapi.
 Hasil penelitian PISA (the Programme for International Student Assessment ) tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi siswa-siswa Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana (Rustaman, 2006b). Hal ini dikuatkan oleh Dasar Pemikiran yang ditulis pada Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, yang menyebutkan bahwa salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi kepada guru (teacher centered) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan kurang optimal (Panduan Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca, 2006).
Bangsa yang ingin maju adalah bangsa yang mau belajar dari kemajuan negara lain, begitu pula untuk kurikulum terutama kurikulum IPA. Kurikulum IPA perlu mengacu pada hakikat IPA itu sendiri, sebagaimana tampak implementasinya pada konten/materi literasi sains oleh PISA dan materi pencapaian sains oleh TIMSS (Rustaman, 2006ª) di atas. Selain itu, Kurikulum IPA perlu juga mengkaji dan membandingkan dengan kurikulum IPA di negara-negara maju.
Kajian kurikulum pendidikan IPA dan perbandingannya dengan kurikulum pendidikan IPA di negara-negara maju, maka dapat diperoleh pokok-pokok pikiran untuk pengembangan kurikulum sains ke depan adalah sebagai berikut:
1.      Penggolongan standar isi untuk seluruh tingkatan kelas sama, perbedaan terletak pada kesesuaian antara dimensi pengetahuan (knowledge) dan dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan berisi empat katagori, yaitu: pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Keempat katagori diasumsikan terletak antara konkret (faktual) sampai abstrak (metakognitif). Adapun dimensi proses kognitif meliputi: mengingat, mengerti, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (Anderson & Krathwohl, 2001: 5).
2.      Pada pengajaran sains, guru hendaknya: (a) mengajar sains berbasis inkuiri; (b) mengarahkan, membimbing dan memfasilitasi; (c) menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa; (d) merancang lingkungan belajar sedemikian rupa untuk sumber pembelajaran kontekstual; (e) menciptakan kelompok belajar sains.
3.      Penilaian pembelajaran hendaknya menekankan pada aspek yang penting untuk dinilai dalam jangka panjang, yang nantinya dapat digunakan untuk belajar lebih lanjut, termasuk penilaian kinerja atau penilaian otentik, berdasarkan data, dan jujur.
Dasar pemikiran yang berkembang dari hal-hal tersebut di atas bahwa adalah sains melandasi perkembangan teknologi, sedangkan teknologi menunjang perkembangan sains, sains terutama digunakan untuk aktivitas discovery dalam upaya memperoleh penjelasan tentang objek dan fenomena alam, namun juga untuk aktivitas penemuan (invention), misalnya dalam penemuan rumus-rumus. Pengembangan sains ini tidak selalu dikaitkan dengan aspek kebutuhan masyarakat. Sedangkan teknologi, merupakan aplikasi sains yang terutama untuk kegiatan invention, berupa alat-alat atau barang-barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi pengembangan teknologi selalu dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian sains, teknologi dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan (Poedjiadi, 1990 ; Yager, 1992: 4). Sains, teknologi dan masyarakat satu sama lain saling berinteraksi. Interaksi ini dapat digambarkan seperti gambar sebagai berikut: Untuk mengungkap penguasaan pengetahuan sains dan teknologi tersebut, dapat dilakukan melalui suatu evaluasi. Evaluasi merupakan suatu pengukuran atau penilaian terhadap sesuatu prestasi atau hasil yang telah dicapai. Mengingat penguasaan sains dan teknologi dalam penelitian ini merupakan penguasaan sains dan teknologi yang berkaitan dengan aspek masyarakat, maka kriteria pengembangan evaluasinya dapat mengacu kepada pengembangan evaluasi dalam unit STS atau STM (sains, teknologi, masyarakat) atau dapat nyatakan secara khusus bahwa literasi sains dan teknologi dalam pendidikan dimulai dari pendekatan STM dibuat menjadi model pembelajaran STM. Model pembelajaran harus memiliki tujuan, teori tertentu, pola pembelajaran, dan evaluasi (Bruce, 1972). Namun demikian, dana terbatas sehingga penyebarluasan dilakukan melalui seminar-seminar; penelitian dilakukan melalui skripsi, tesis dan disertasi.

C.    Mewujudkan Literasi Sains dan Teknologi di Daerah Terpencil
Pembangunan di Indonesia dalam berbagai aspek yang masih  belum merata dan kondisi geografis beberapa pulau di Indonesia yang sulit dijangkau menyebabkan kesenjangan dalam kemampuan mengakses teknologi dan informasi. Berbeda dengan keadaan di perkotaan, masyarakat di daerah terpencil masih hidup tanpa tersentuh oleh derasnya arus informasi dan teknologi.
Seringkali kita terjebak pada pengertian teknologi sebagai sesuatu yang rumit dan canggih. Padahal teknologi tidaklah harus rumit dan canggih. Sesuatu yang sederhana pun dapat dikategorikan sebagai teknologi apabila mampu mempermudah pekerjaan manusia.
Pada abad informasi ini, setiap individu harus selalu mengikuti perkembangan cepat sains dan teknologi untuk dapat hidup nyaman pada masanya. Perkembangan informasi sains dan teknologi di daerah terpencil masih sangat lambat. Meskipun tampaknya sederhana, sesungguhnya informasi tersebut adalah hal yang bermakna besar dalam kehidupan bagi masyarakat terpencil.
Setiap daerah pasti memiliki potensi yang khas, terutama dari sumber daya alamnya. Agar sumber daya alam ini bermanfaat, maka infomasi dan teknologi yang masuk ke daerah terpencil, meskipun minim harus bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dengan demikian peningkatan literasi sains dan teknologi harus mencapai daerah terpencil tersebut.
Literasi sains dan teknologi di daerah terpencil dapat ditingkatkan dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengoptimalkan semua media informasi (koran, televisi, radio, narasumber) dan juga melalui pendidikan formal (pendekatan STM).

D.    Pembelajaran STM untuk Meningkatkan Literasi Sains dan Teknologi
Penyusunan materi pendidikan sains, hendaknya merupakan akumulasi dari konten, proses, dan konteks. Konten, menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan fakta, definisi, konsep, prinsip, teori, model, dan terminologi. Proses, berkaitan dengan metodologi atau keterampilan untuk memperoleh dan menemukan konten. Konteks, berkaitan dengan kepentingan sosial baik individu maupun masyarakat atau kepentingan-kepentingan lainnya yang berhubungan dengan perlunya pengembangan dan penyesuaian pendidikan sains untuk menghadapi tantangan kemajuan zaman. Benneth et. al. (2005) melaporkan, bahwa pendekatan STM merupakan pendekatan berbasis konteks yang memiliki peranan yang sangat penting dalam memotivasi anak dan mengembangkan keaksaraan ilmiah mereka berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap anak laki-laki dan perempuan yang berkemampuan rendah. Dengan demikian, tujuan pendekatan STM adalah untuk membentuk individu yang memiliki literasi sains dan teknologi serta memiliki kepedulian terhadap masalah masyarakat dan lingkungannya (Pudjiadi, 2005).
Menurut Poedjiadi (2005), pelaksanaan pendekatan STM dapat dilakukan melalui tiga macam strategi, yaitu: Strategi pertama, menyusun topik- topik tertentu yang menyangkut konsep-konsep yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pada strategi ini, di awal pembelajaran (topik baru) guru memperkenalkan atau menunjukkan kepada peserta didik adanya isu atau masalah di lingkungan anak atau menunjukkan aplikasi sains atau suatu produk teknologi yang ada di lingkungan mereka. Masalah atau isu yang ada di lingkungan masyarakat dapat pula diusahakan agar ditemukan oleh anak sendiri setelah guru membimbing dengan cara-cara tertentu. Melalui kegiatan eksperimen atau diskusi kelompok yang dirancang oleh guru, akhirnya dibangun atau dikonstruksi pengetahuan pada anak. Dalam hal ini, pengetahuan yang berbentuk konsep-konsep.
Strategi kedua, menyajikan suatu topik yang relevan dengan konsep-konsep tertentu yang termasuk dalam standar kompetensi atau kompetensi dasar. Pada saat membahas konsep-konsep tertentu, suatu topik relevan yang telah dirancang sesuai strategi pertama dapat diterapkan dalam pembelajaran. Dengan demikian program STM merupakan suplemen dari kurikulum.
Strategi ketiga, mengajak anak untuk berpikir dan menemukan aplikasi konsep sains dalam industri atau produk teknologi yang ada di masyarakat di sela-sela kegiatan belajar berlangsung. Contoh-contoh adanya aplikasi konsep sains, isu atau masalah, sebaiknya diperkenalkan pada awal pokok bahasan tertentu untuk meningkatkan motivasi peserta didik mempelajari konsep-konsep selanjutnya, atau mengarahkan perhatian peserta didik kepada materi yang akan dibahas sebagai apersepsi.
Pendekatan STM yang diwujudkan dalam model pembelajaran STM yang dibentuk memiliki tujuan mengembangkan literasi sains dan teknologi, teori mencakup konstruktivisme dan pragmatisme, Pola pembelajaran dapat dilihat pada bagan di bawah ini, dan evaluasi mencakup aspek proses, konsep, aplikasi dalam kehidupan, kreatif, sikap peduli, tindakan nyata.
Bagan Pola Pembelajaran STM

Dasar pemikiran model pembelajaran STM dibuat terkait peningkatan literasi sains dan teknologi, yaitu:
1.      Mencari isu/masalah memerlukan pemikiran, kreativitas, dan imajinasi.
2.      Dihadapkan pada masalah/isu memerlukan berpikir kristis. Dengan demikian, meningkatkan kemampuan berpikir analitik, keterampilan proses, kepedulian terhadap lingkungan/kebutuhan masyarakat, kemampuan menyelesaikan masalah, transfer belajar, membuat keputusan berdasarkan nilai.
3.      Pemantapan konsep perlu untuk mencegah miskonsepsi.

Dengan mengintegrasikan pendekatan STM pada pembelajaran sains, peserta didik diharapkan manjadi ‘litterate’, yang artinya memiliki literasi sains dan teknologi serta memiliki kepedulian terhadap masalah masyarakat dan lingkungannya.


BAB III
P E N U T U P

A.    Simpulan
  1. Peningkatan literasi sains dan teknologi di masyarakat terpencil dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan semua media informasi dan melalui pendidikan formal
  2. Untuk mewujudkan literasi sains dan teknologi dalam pembelajaran, digunakan pendekatan STM

B.     Rekomendasi
  1. Perlu dibuat materi penunjang oleh para pakar yang tersedia sebagai booklets atau leaflets.
  2. Perlu membiasakan berdiskusi dengan teman sejawat guru untuk mencari isu di lapangan.
  3. Model STM yang ideal cukup dilaksanakan sekali dalam satu semester saja melalui topik yang sesuai.
  4. Kaitan antara sains, teknologi, masyarakat perlu sering dikemukakan pada peserta didik.
  5. Perlu melatih menilai sikap dan meneggunakan portofolio.


DAFTAR PUSTAKA


Anderson, L. W., and Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloo’m Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Bennett, Judith, S. Hogarth, F. Lubben dan A. Robinson. 2005. Review “The effects of context-based and Science-Technology-Society (STS) approaches in the teaching of secondary science on boys and girls, and on lower-ability pupils”. EPPI-Centre University of London. Dari  http://eppi.ioe.ac.uk/ , diakses tanggal 1 Oktober 2010.
Poedjiadi, Anna. 2005. Sains Teknologi MasyaratModel Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Reviandari Widyatiningtyas, EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya, http://educare.e-fkipunla.net Generated: 6 October, 2010, 07:11

Rustaman, N. Y. (2006a). Pencapaian Sains Siswa Indonesia pada TIMSS. Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Jakarta: Puspendik Depdiknas.

Rustaman, N.Y. (2006b). Literasi Sains Anak Indonesia 2000 dan 2003. Seminar Sehari Hasil Studi Internasional Prestasi Siswa Indonesia dalam Bidang Matematika, Sains, dan Membaca. Jakarta: Puspendik Depdiknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar