Pendahuluan
Evaluasi pembelajaran adalah kegiatan yang meliputi pengukuran dan penilaian dalam suatu proses pendidikan yang melingkupi komponen input, proses, maupun output pendidikan (Hughes, 1989; Alderson,1992). Evaluasi dalam khasanah pendidikan di Indonesia menjadi identik dengan penilaian dan sering disebut juga dengan asesmen (assessment) yang berarti pengambilan keputusan berdasarkan pada suatu kegiatan pengukuran terlebih dahulu.
Keberhasilan pembelajaran merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari suatu upaya pendidik dalam berusaha membelajarkan peserta didik, sedangkan peserta didik berupaya menguasai kompetensi yang telah dibelajarkan. Upaya pendidik dan peserta didik ini akan diketahui dari kondisi keberhasilan pembelajaran, sehingga akan diperoleh informasi seberapa efektif dan efisien kegiatan pembelajaran telah dilakukan bersama antara pendidik dengan peserta didik. Kemampuan dan daya serap peserta didik merupakan suatu kondisi yang dimiliki peserta didik dalam menguasai seperangkat materi atau seperangkat kompetensi yang dengan sengaja dan sadar dibelajarkan. Kondisi ini dapat diketahui dari asesmen terhadap upaya pembelajaran yang sedang atau telah dilakukan pendidik. Dari suatu asesmen pembelajaran akan diperoleh informasi yang sangat berharga, sebagai balikan (feedback) atau backwash dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan pendidik. Dari data hasil penilaian akan diperoleh informasi bagian materi atau kompetensi yang pada umumnya belum dikuasai oleh peserta didik. Dari data yang ada juga dapat diketahui informasi tentang kehandalan metode, teknik atau media yang digunakan dalam pembelajaran. Apabila data tersebut diberi makna oleh pendidik maka akan dapat memperbaiki kegiatan pembelajaran yang akan dilakukannya. Selain itu, informasi ini berarti pula bagi peserta didik dalam merespon kegiatan pembelajaran yang diikutinya. Namun, kondisi di atas seringkali dipandang bahwa dari suatu asesmen pembelajaran hanya akan memperoleh informasi tentang nilai. Dari itu, kemudian peserta didik tercipta dalam suatu fenomena yang tidak akademis. Peserta didik akan memandang bahwa nilai sebagai sesuatu yang sangat penting. Pada saat Ujian Nasional pun akhirnya tercipta suatu fenomena yang mengerikan, terjalin kerjasama yang kurang sehat antara pendidik dengan peserta didik agar nilai UN-nya lebih baik. Ketakutan yang sangat “serius” ini terjadi karena asesmen hanya dipandang dari satu aspek, hanya nilai. Marilah kita ubah citra asesmen pembelajaran hanya untuk nilai dengan menerapkan inovasi dalam mengases kompetensi peserta didik.
Identifikasi Kesalahan dalam Asesmen Formatif dengan Asesmen Sumatif
Pendidik mengases peserta didik dengan dua tujuan: (1) untuk memonitor pembelajaran peserta didik dan memperbaiki pembelajarannya, demi kepentingan individual dan kolektif siswa, dan (2) untuk memberi nilai peserta didik yang telah mengikuti rangkaian pembelajaran. Asesmen dengan tujuan pertama disebut asesmen formatif lantaran fungsi utamanya adalah membantu peserta didik belajar selama masih ada waktu dan kesempatan bagi peserta didik untuk meningkatkan pembelajarannya. Asesmen dengan tujuan kedua dinamakan asesmen sumatif sebab fungsi utamanya adalah “menyimpulkan” pembelajaran siswa pada akhir periode pembelajaran. (Scriven, 1967).
Selain perbedaan teoritis antara asesmen formatif dan asesmen sumatif tersebut, dalam praktif pelaksanaannya, kedua asesmen ini juga berbeda. Asesmen formatif jamaknya lebih informal dan didasarkan pada banyak sumber informasi (misalnya pertanyaan-pertanyaan di kelas, pengamatan terhadap siswa, pekerjaan rumah, dan kuis). Sebaliknya, asesmen sumatif biasanya lebih formal dan didasarkan pada sumber-sumber informasi yang lebih terfokus (misalnya, tes, tugas proyek, dan makalah). Penerapan asesmen sumatif sejalan dengan kebutuhan banyak pendidik untuk menjustifikasi nilai peserta didik yang mereka buat. Asesmen formal juga memungkinkan pendidik mengetahui peserta didik yang tampak kurang bagus dalam interaksi di kelas. Di lain pihak, data yang diperoleh dari asesmen informal kurang terukur validitasnya, tetapi data ini jauh lebih bermanfaat untuk memperbaiki aktivitas pembelajaran.
Kendati berbeda, asesmen-asesmen formatif dan sumatif sering dilakukan secara tumpang tindih di kelas kemudian garis batas antara asesmen formatif dan asesmen sumatif kabur.
Signifikansi Penggunaan Asesmen Formatif dan Asesmen Sumatif
Asesmen formatif memberi informasi yang dibutuhkan pendidik dan peserta didik ketika unit pelajarannya diajarkan: bagi peserta didik, bagaimana cara mencapai tujuannya, dan bagi pendidik, keputusan pembelajaran apa yang harus dibuat. Asesmen formatif dapat membantu pendidik dalam menjawab kedua masalah tersebut, kemudian pendidik dapat mengambil keputusan-keputusan “kurang penting”, dan keputusan-keputusan yang salah segera kelihatan dan dapat dikoreksi. Di sini, pendidik dapat mengambil keputusan dengan melihat ekspresi wajah, ketekunan, dan jawaban-jawaban peserta didik atas pertanyaan-pertanyaan lisan, serta respon mereka terhadap berbagai tugas tertulis pendek. Setiap pendidik dalam sketsa-sketsa di atas melakukan asesmen formatif dan mengumpulkan informasi untuk membuat keputusan pembelajaran.
Asesmen sumatif memberi data yang pendidik butuhkan untuk menentukan dan menjustifikasi nilai-nilai peserta didik. Oleh karena keputusan-keputusan ini “lebih penting” bagi individu peserta didik, datanya harus memiliki kualitas teknis yang tinggi. Selain itu, lantaran keputusan perihal nilai harus bukan hanya dibuat, melainkan juga dijustifikasi, pendidik boleh jadi merasa lebih enak dengan menggunakan tes tradisional pengetahuan faktual dalam asesmen sumatif. Pertanyaan-pertanyaan dalam tes ini mempunyai jawaban “benar” dan “salah” yang sulit dibantah.
Apabila asesmen formatif berkaitan dengan asesmen sumatif, siswa lebih mampu menyelesaikan asesmen sumatif. Apabila asesmen formatif sama dengan asesmen sumatif (asesmen sumatif digunakan secara formatif atau asesmen-asesmen formatif menggantikan asesmen sumatif yang seharusnya terpisah), perbedaan antara pembelajaran dan asesmen menjadi kabur. Hal seperti ini kadang-kadang terjadi dalam pembelajaran konstruktivis dengan penilaian otentik.
Masalah penilaian otentik ini dapat menggunakan asesmen formatif untuk menggantikan asesmen sumatif tetapi dengan ketentuan bahwa sumber informasi yang digunakan harus berasal dari satu sumber saja, agar mudah dalam pembuatan indikator dan rubrik penilaiannya, kemudian dalam satu kali pertemuan pembelajaran hanya menilai satu indikator dari asesmen formatif.
Simpulan
Pembahasan asesmen formatif dan asesmen sumatif di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Masalah yang kadang-kadang terjadi di dalam asesmen pembelajaran adalah kaburnya batasan antara asesmen formatif dan asesmen sumatif terutama dalam pembelajaran konstruktivis dengan penilaian otentik
2. Penyelasaian masalah batasan antara kedua asesmen formatif dan sumatif, yaitu jika asesmen formatif menggantikan asesmen sumatif, maka sumber informasi yang digunakan harus berasal dari satu sumber saja. Kemudian dalam satu kali pembelajaran hanya menilai satu indikator dari asesmen formatif.
Daftar Pustaka
Anderson, Lorin W.. Krathwohl, David R.. (2010). Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen: revisi Taksonomi Bloom. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Scriven, M.. (1967). The methodology of evaluation. Dalam Stake, R.E.. et al. (Ed.). Perspectives on curriculum evaluation. AERA monograph series on curriculum evaluation. No. 1. Chicago: Rand McNally.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar